Akhir-akhir ini publik disuguhkan dengan stigma negatif pesantren dan penurunan marwah seorang ulama pada sebuah media besar ternama. Penulis menyimpulkan bahwa mungkin ada gerakan masif untuk menjauhkan publik dari ulama. Kejadian tersebut tidak hanya berlangsung pada akhir-akhir ini, namun upaya untuk mendiskreditkan peran ulama sebagai pembimbing umat juga terjadi pada tahun 1996 menjelang pemilu tahun 1997 di Situbondo.
Kala itu yang menjadi obyek sasarannya adalah K.H. R. Ahmad Sofyan Miftahul Arifin dan menantunya K.H. R. Cholil As’ad bin K.H. R. As’ad Syamsul Arifin.
Dalam tradisi masyarakat Muslim Madura, mengikuti perintah seorang kiai merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar. Dikarenakan bagi masyarakat muslim Madura kiai adalah sosok penerus nubuwah kenabian, maka mengikuti mereka sama dengan mengikuti perintah Nabi.
Tentu para Kiai di Madura atau di daerah yang dihuni oleh masyarakat dari Madura keteladanannya tidak hanya menjadi pegangan hidup saja, namun dalam hal berpolitik pun kebijakannya menjadi sebuah pedoman. Sikap inilah yang membuat Golkar yang menjadi basis utama pemerintah rezim Orde Baru harus berpikir dua kali untuk memecah suara PPP sebagai partai berbasis Islam dalam pemilu tahun 1997.
Maka salah satu cara untuk memecah suara PPP adalah dengan membuat tindakan anarkis, masif, rapi, dan terstruktur. Hal ini di kemudian hari terulang kembali dalam luapan demo pada Agustus 2025 yang terjadi di berbagai belahan di Indonesia. Agar demo tidak terfokus pada aksi tuntutan kepada wakil rakyat, para provokator yang bertubuh tegap besar, memakai celana casual, dan sepatu branded melancarkan aksinya dengan membakar berbagai fasilitas umum dan kantor pemerintahan agar para pendemo tersebut dapat dituduh dan dicekal sebagai dalang kerusuhan.
Pola yang terjadi pada tragedi 10 Oktober 1996 di Situbondo berlaku hampir sama. Para provokator tersebut melakukan perusakan terhadap 23 gereja dan satu klenteng yang beberapa bulan sebelumnya hubungan yang berlangsung antara masyarakat NU Situbondo dan pengusaha dari kalangan non muslim berlangsung cukup harmonis. Bahkan semenjak penjajahan Belanda, sebagaimana yang dituliskan oleh Mohammad Toha dkk dalam autobiografi K.H.R. Ahmad Sofyan yang berjudul “KH. A. Sofyan Miftahul Arifin: Bukan Kiai Kampungan”, hubungan masyarakat muslim di Situbondo dengan pendatang etnis Tionghoa berjalan dengan harmonis.
Tragedi tersebut bermula dari sebuah persidangan di Pengadilan Negeri Situbondo yang mendakwakan seorang bernama Saleh melakukan tindakan pelecehan agama. Dalam persidangan kelima atas penyelesaian perkara tersebut, massa yang awalnya hanya sebagai penonton terlibat perang lempar batu yang menyebabkan jaksa, hakim, dan hakim anggota harus melarikan diri sampai melompat pagar pembatas pengadilan. Kebringasan massa tersebut berpuncak ke pembakaran PN Situbondo serta meringsek kepada pembakaran serta pengrusakan massal 23 gereja dan satu klenteng di kota Situbondo.
Dengan kurun waktu kurang dari 24 jam, semua bangunan tersebut hangus dan sampai menimbulkan korban sebanyak 4 orang dari kalangan non Muslim. Anehnya, bersamaan itu tatkala kerusuhan pecah pada pukul 11.30 WIB, aparat keamanan yang terdiri dari satuan Batalyon Kostrad 514 Bondowoso, Batalyon Infanteri 512, Batalyon 509, dan satuan Brimob dari Surabaya baru datang ke TKP pada pukul 14.00 WIB.
Padahal jarak antara markas Batalyon Kostrad 514 Bondowoso ke tempat kejadian jaraknya hanya 30 km, ini yang menyebabkan sebagian orang merasa janggal. Hal aneh lain yang terjadi adalah tatkala kerusuhan tersebut terjadi, Kepala Kantor Sosial dan Politik Pemda Situbondo sedang berkaraoke ria di Pendopo Kabupaten bersama para camat se–kabupaten Situbondo. Kejanggalan lain ditemukan dengan adanya kalimat mural yang tidak etis tertulis pada sebuah tembok seperti ini, “Yesus Asu, Bunda Maria PKI”.
Tentu di tengah berjalannya harmonisasi hubungan warga Nahdliyyin Situbondo dengan kalangan non–muslim Situbondo. Tulisan tersebut tidak sepantasnya terlontar dari warga NU setempat sebagaimana yang diterangkan oleh Samuel Lie yang saat itu menjabat sebagai Ketua Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG) Situbondo bahwa, “Saya sendiri pasrah saja.. semua ini saya anggap sebagai hikmah, tapi saya tidak percaya kalau pihak NU yang mendalangi peristiwa ini”.
Tragedi tersebut juga membuat Gus Dur sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU yang baru saja kembali dari rihlahnya di Roma-Italia menyampaikan permohonan maaf sebesar-sebesarnya sekaligus menyatakan akan bertanggung jawab secara moral apabila yang terseret dalam kasus ini adalah warga NU. Sejurus kemudian, atas perintah beliau PW-GP Ansor Jatim membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) guna menyimpulkan dan mencari fakta atas tragedi ini.
Selain kejanggalan di atas dari temuan TGPF, ditemukan fakta lain bahwa ada upaya penggembosan suara PPP menjelang pemilu 1997 dan pendiskreditkan ketokohan K.H.R. Ahmad Sufyan Mifathul Arifin dan K.H. R. Cholil As’ad sebagai ulama yang masih aktif mendukung PPP pada pemilu. Terbukti sebanyak 12 santri Ponpes Walisongo asuhan Kiai Cholil dan 11 siswa STM, SMU, & SMEA Ibrahimy ditangkap oleh aparat dan diperlakukan tidak manusiawi di markas mereka. Ditendang, dipukul, ditonjok, dan disetrum adalah perlakuan yang dilakukan oleh ABRI kepada Nur Dawam, siswa kelas 2 SMU Ibrahimy yang kala itu ikut digelandang.
Pasukan tentara sebanyak satu kompi pun juga diterjunkan untuk meringsek masuk ke Pesantren Walisongo guna menangkapi para santri, namun hal tersebut dicegah oleh ratusan abang becak, warga, pemilik warung sekitar pesantren, dan simpatisan yang bersiaga terlebih dahulu membentengi Pesantren Walisongo agar tidak dimasuki oleh aparat. Fakta dari TGPF juga menyebutkan bahwa satu anggota Pagar Nusa yang bernama Ahmad Shidiq juga harus gugur sebagai korban yang berstatus sebagai terduga akibat pendarahan kronis pasca mendapat berbagai penyiksaan.
Di ruang persidangan pun, dengan tubuh tergeletak lemah dan pucat di atas ranjang, ia diharuskan dalam kondisi tangan terborgol. Bahkan Daenuri sebagai salah satu anggota Pagar Nusa kala itu tatkala diinterogasi ternyata diestrum kemaluannya oleh aparat agar ia mau mengaku bahwa dia terlibat dalam kerusuhan tersebut, padahal realitanya tidak.
Kiai Fawaid As’ad, kakak Kiai Cholil dan juga pengasuh Pesantren Salafiyyah Syafiiyah Sukorejo menduga bahwa peristiwa itu terdapat suatu rekayasa akan segolongan yang berusaha mengadu domba antara umat Islam dan Kristen. Dalam satu pertemuan antara Gus Dur, Kiai Achmad Sofyan, Kiai Cholil As’ad, Kiai Zakki Abdullah dan tim TGPF PW Ansor Jatim yang bertempat di Ponpes Mambaul Hikam, Panji Kidul. Beliau (Gus Dur) menjelaskan secara tegas bahwa di balik kerusuhan itu (10 Oktober 1996) sebenarnya terselip tujuan yang tak baik untuk menjatuhkan kepemimpinannya di organisasi NU.
Waba’du, itulah segelintir dari upaya rezim Orba dalam menjatuhkan marwah seorang ulama melalui tangan besi dan sepatu laras panjangnya yang di zaman serba canggih ini semuanya dapat dilakukan dalam genggaman smartphone dan membayar para buzzer. Hal ini pula yang harusnya menjadi pertimbangan serius bahwa Soeharto masih belum layak diberi gelar Pahlawan Nasional.